HIP Program adalah program yang diselenggarakan oleh Halla University, salah satu kampus swasta di Korea Selatan. Program ini bertujuan untuk mempelajari Bahasa dan Budaya Korea dan pertama kali diselenggarakan untuk memperingati 30 tahun berdirinya Halla University. Program ini dihadiri oleh peserta dari enam negara yaitu Turki, China, Filipina, India, Indonesia, dan Thailand, dengan total sekitar 90 peserta. Program ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan potensi akademik mahasiswa dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, tetapi juga untuk memperluas jaringan pertemanan internasional serta memperkenalkan teknologi terbaru di Korea Selatan.
Menghabiskan waktu di Korea telah memberikan saya wawasan mendalam tentang bagaimana etiket, norma sosial, dan kegiatan tradisional membentuk kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Sebagai seorang mahasiswa Universitas Siber Asia (UNSIA) program studi Informatika, saya merasa sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan ini. UNSIA merupakan salah satu kampus “full online” di Indonesia, dan jujur saja, saya tidak menyangka bisa mengikuti program Halla International Pioneer Program (HIP Program) karena kampus kami yang sepenuhnya daring. Namun, ketika ada informasi dari grup kampus tentang program belajar singkat di Korea, saya langsung mencoba mendaftar. Alhamdulillah, saya menjadi salah satu mahasiswa yang terpilih. Bahkan setelah terpilih pun, kami belum saling mengenal satu sama lain. Mahasiswa UNSIA lainnya yang mengikuti program ini juga hadir dari berbagai macam latar belakang, angkatan, dan juga daerah.
Penghormatan kepada Orang Tua dan Norma Sosial di Korea
Salah satu hal pertama yang saya perhatikan adalah bagaimana masyarakat Korea sangat menghargai orang tua. Setiap kali saya berinteraksi dengan orang Korea, baik di lingkungan kampus maupun di tempat umum, saya selalu melihat tindakan sopan seperti membungkuk dan menggunakan bahasa formal ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Penghormatan ini tidak hanya terlihat dalam interaksi sehari-hari tetapi juga dalam struktur sosial yang lebih besar, termasuk di tempat kerja. Di kantor, ada hirarki yang jelas di mana junior diharapkan untuk menunjukkan penghargaan dan rasa hormat yang tinggi kepada senior mereka. Ini bukan hanya soal formalitas, tetapi juga tentang menghargai pengalaman dan kebijaksanaan orang yang lebih tua.
Perbedaan berikutnya yang saya rasakan adalah terdapat perbedaan penggunaan kata “teman”. Jika biasanya teman adalah orang-orang yang kita kenal atau orang yang dekat dengan kita, tidak di Korea Selatan. 친구 (Chin gu/teman) merupakan orang-orang yang memiliki usia yang sama. Dan tidak peduli apakah kamu menyukainya atau tidak. Selanjutnya ada 동생 (dong seng) yang merupakan panggilan kepada orang yang lebih muda. Untuk panggilan antara laki-laki dengan laki-laki yang lebih tua adalah 형(hyung), dan lain sebagainya.
Budaya kerja di Korea juga sangat menarik. Pendidikan dan kesuksesan profesional dipandang sebagai elemen kunci untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, sistem pendidikan di Korea sangat kompetitif, dan banyak siswa yang menghabiskan waktu yang panjang untuk belajar dan mengikuti berbagai les tambahan. Hal ini berlanjut ke dunia kerja, di mana jam kerja yang panjang dan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan adalah hal yang biasa. Saya sendiri terkesan dengan etos kerja yang kuat dan komitmen untuk mencapai yang terbaik, meskipun terkadang saya merasa bahwa keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi perlu diperhatikan lebih baik.
Gotong Royong dan Keramahan dalam Budaya Indonesia
Sebagai perbandingan, budaya Indonesia yang saya kenal juga memiliki karakteristik yang kuat dalam hal etiket dan norma sosial. Salah satu nilai yang paling menonjol adalah gotong royong, yang menggambarkan semangat kerja sama dan saling membantu dalam berbagai aspek kehidupan. Ini adalah konsep yang sangat penting dan diterapkan dalam berbagai kegiatan komunitas, mulai dari membangun rumah hingga mengorganisir acara sosial. Saya merasa bahwa gotong royong menciptakan ikatan sosial yang kuat dan membuat masyarakat lebih kohesif.
Keramahan juga merupakan ciri khas budaya Indonesia. Setiap kali ada tamu yang datang, mereka selalu disambut dengan senyum dan sikap hangat. Saya ingat ketika saya pertama kali tiba di Korea, saya merasakan perbedaan dalam cara orang menyambut saya. Meskipun masyarakat Korea juga ramah, ada formalitas tertentu yang harus dijaga. Sedangkan di Indonesia, keramahan terasa lebih santai dan spontan. Ini adalah salah satu hal yang selalu membuat saya merasa bangga dengan budaya saya sendiri.
Tulisan ke 2
Festival dan Kegiatan Tradisional yang Memukau
Korea memiliki banyak festival dan kegiatan tradisional yang mencerminkan sejarah dan nilai-nilai budayanya. Salah satu kegiatan tradisional yang paling menarik adalah tari topeng Talchum. Tari topeng Talchum adalah bentuk seni pertunjukan tradisional Korea yang melibatkan penggunaan topeng dan gerakan tari yang khas. Pertunjukan ini sering kali mencakup cerita-cerita rakyat yang mengandung pesan moral atau kritik sosial. Saya berkesempatan menyaksikan pertunjukan tari topeng Talchum dan sangat terkesan dengan keindahan gerakan dan ekspresi yang ditampilkan oleh para penari. Tari ini tidak hanya memukau dari segi estetika, tetapi juga memberikan wawasan tentang nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Korea.
Chuseok adalah waktu untuk bersyukur atas hasil panen dan menghormati leluhur. Festival ini biasanya dirayakan dengan makanan tradisional dan tarian rakyat. Saya berkesempatan untuk mengunjungi desa tradisional selama Chuseok dan melihat langsung bagaimana masyarakat mempersiapkan makanan dan mengadakan tarian tradisional. Ini memberikan saya wawasan tentang bagaimana nilai-nilai agraris masih sangat dihargai meskipun Korea telah menjadi negara industri yang maju.
Di Indonesia, festival seperti Idul Fitri dan Nyepi (Hari Raya Nyepi di Bali) juga memiliki makna budaya yang mendalam. Idul Fitri adalah waktu untuk bermaaf-maafan dan berkumpul dengan keluarga setelah sebulan berpuasa. Sementara itu, Nyepi adalah hari yang unik di mana seluruh pulau Bali hening selama 24 jam untuk introspeksi diri. Setiap festival ini memperkaya warisan budaya Indonesia dan mengajarkan nilai-nilai spiritual yang penting.
Penutup
Mengalami budaya Korea secara langsung telah memberikan saya perspektif yang lebih luas tentang bagaimana norma sosial dan etiket membentuk interaksi kita sehari-hari. Melalui penghormatan kepada orang tua, dedikasi terhadap kerja, dan perayaan festival tradisional, masyarakat Korea menunjukkan keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan beradaptasi dengan kemajuan modern. Ini adalah pelajaran berharga yang dapat saya bawa pulang dan bandingkan dengan nilai-nilai yang saya kenal di Indonesia. Warisan budaya dan tradisi, baik di Korea maupun di Indonesia, memberikan kita identitas dan kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat global yang kaya akan keragaman.
Oleh Muhammad Rafi Casey Susanto – Mahasiswa Prodi Informatika UNSIA
Peserta Halla International Pioneer Program