Universitas Siber Asia

Mengurai Kekerasan Seksual di Indonesia

Kasus kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, terus menjadi luka dalam masyarakat Indonesia, dengan laporan terbaru yang menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Salah satu kasus yang mengguncang publik terjadi pada Maret 2025 di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, di mana seorang dokter residen, Dr. Priguna Anugerah Pratama, ditahan atas dugaan pemerkosaan terhadap beberapa korban dengan memanfaatkan obat bius. Insiden ini bukan hanya menyoroti pelanggaran kepercayaan di institusi kesehatan tempat yang seharusnya menjadi ruang aman tetapi juga memicu pertanyaan lebih besar : Sampai kapan peristiwa seperti ini terus berulang?

Kasus di RSHS Bandung bukanlah kejadian terisolasi. Pada April 2025, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi sorotan setelah seorang guru besar, Edy Meiyanto, dilaporkan terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Pihak universitas telah membebastugaskannya, namun kasus ini menambah daftar panjang insiden di ruang akademik, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk menimba ilmu. Selain itu, laporan dari Kompas mengungkap kasus tragis di Palembang, di mana seorang siswi SMP menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh sekelompok pelaku, termasuk anak di bawah umur. Meskipun pelaku utama divonis 10 tahun penjara, kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, bahkan di lingkungan sehari-hari seperti pemakaman umum. Pola ini diperparah oleh kasus lain, seperti di Kementerian Koperasi dan UKM pada 2019, di mana seorang pegawai honorer diperkosa oleh empat rekan kerja, namun penyelesaian awalnya justru mendorong korban untuk menikahi salah satu pelaku—sebuah solusi yang jauh dari keadilan.

Pertanyaan tentang kekerasan seksual yang terus terjadi menjadi relevan ketika kita melihat bahwa banyak kasus melibatkan pelaku dengan posisi kuasa. Dokter, akademisi, pejabat, hingga anggota keluarga dekat seringkali memanfaatkan otoritas atau kedekatan untuk melakukan tindakan keji. Menurut Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan, relasi kuasa ini membuat korban sering kali tidak berani melapor, terutama jika pelaku memiliki jabatan atau pengaruh sosial (BBC). Kasus di RSHS Bandung, misalnya, menunjukkan bagaimana seorang dokter, figur yang dipercaya dapat menyalahgunakan posisinya. Begitu pula dengan kasus di UGM, di mana seorang guru besar memiliki otoritas akademik yang dapat menekan korban untuk bungkam. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa lebih dari 61% korban kekerasan seksual adalah perempuan, dan mayoritas pelaku adalah orang yang dikenal korban, termasuk mereka yang memiliki posisi dominan dalam hubungan sosial atau profesional (Komnas Perempuan, 2023).

Saya merasa sangat terganggu melihat bagaimana budaya menyalahkan korban masih begitu kuat dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia. Sering kali, alih-alih pelaku yang dipertanyakan, korban justru mendapat sorotan kenapa mereka ada di tempat itu, atau apa yang mereka kenakan saat kejadian. Pertanyaan-pertanyaan ini seolah menggiring kita untuk berpikir bahwa korbannya yang salah, bukan pelaku yang jelas-jelas melakukan kejahatan. Bagi saya, ini adalah tanda bahwa masalah kekerasan seksual bukan cuma soal kasus per kasus, tetapi sesuatu yang jauh lebih dalam, tertanam dalam cara kita memandang perempuan dan tanggung jawab mereka untuk “menjaga diri.” Akar patriarki ini membuat perempuan seolah wajib bertanggung jawab atas keselamatan mereka sendiri, sementara pelaku luput dari hukuman yang seharusnya. Dampaknya jelas: banyak korban memilih bungkam karena takut dihakimi atau malu, dan ini membuat saya bertanya-tanya, bagaimana kita bisa membiarkan ini terus terjadi?

Yang lebih menyedihkan lagi, menurut saya, adalah cara kita menangani korban. Meskipun sudah ada aturan baru yang mempermudah pelaporan kekerasan seksual, kenyataannya masih banyak hambatan. Saya sering mendengar cerita tentang petugas yang tidak cukup peka terhadap korban, bahkan ada kasus di mana korban disarankan untuk menyelesaikan masalah di luar hukum, seperti dengan menikahi pelaku sesuatu yang menurut saya sama sekali tidak masuk akal. Korban juga kadang menghadapi perlakuan yang menyakitkan lagi, seperti pertanyaan tak pantas dari petugas medis atau di pengadilan, yang seolah menambah luka mereka. Belum lagi soal pemulihan, saya merasa sangat sedih mengetahui bahwa banyak korban dibiarkan tanpa dukungan nyata, baik itu bantuan psikologis maupun kompensasi. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa kita belum benar-benar berdiri di sisi korban, dan ini adalah kegagalan besar yang harus kita ubah bersama.

Saya percaya bahwa kekerasan seksual di Indonesia bukan sekadar kasus individu, tetapi cerminan masalah yang lebih dalam, tertanam dalam budaya yang terkadang masih memihak pelaku. Melihat kasus-kasus ini di rumah sakit, universitas, atau bahkan lingkungan sehari-hari saya merasa kita perlu lebih dari sekadar hukuman. Kita butuh perubahan cara pandang, di mana korban didengar tanpa dihakimi, dan pelaku, apalagi yang berkuasa, tidak lagi merasa kebal hukum. Saya yakin langkah kecil seperti berbicara terbuka tentang consent atau mendukung teman yang berani melapor bisa membuat perbedaan. Sebagai bagian dari generasi muda, saya ingin melihat masyarakat di mana tidak ada lagi korban yang terpaksa menyembunyikan luka mereka.

References
Antara News Jawa Barat. (2025, April 9). Kasus kekerasan seksual di RSHS Bandung: Dokter Priguna Anugerah Pratama ditahan. https://jabar.antaranews.com/berita/596465/kasus-kekerasan-seksual-di-rshs-bandung-dokter-priguna-anugerah-pratama-ditahan 

BBC News Indonesia. (2024, August 17). Kekerasan seksual di Indonesia: Mengapa begitu banyak korban yang tidak melapor? https://www.bbc.com/indonesia/articles/c97g487q99vo 

BBC News Indonesia. (2024, August 21). Kekerasan seksual: ‘Saya dilecehkan dosen, tapi pihak universitas malah menyalahkan saya’. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cql3235gplro 

Irawan, D. (2024, September 9). Pemerkosa dan pembunuh siswi SMP di Palembang harus diproses hukum meski anak-anak. Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2024/09/09/09560061/pemerkosa-dan-pembunuh-siswi-smp-di-palembang-harus-diproses-hukum-meski 

Komnas Perempuan. (2023). Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2023: Kekerasan terhadap perempuan. https://komnasperempuan.go.id/download-file/949 

Kompas. (2025, April 10). UGM pecat guru besar terduga pelaku kekerasan seksual, DPR desak cabut status akademik [Video]. https://video.kompas.com/watch/1839572/ugm-pecat-guru-besar-terduga-pelaku-kekerasan-seksual-dpr-desak-cabut-status-akademik 

Kontributor : Elvira Rahmaniar Rahmi
Editor : Joko Suhariyanto, S.E.,M.M., CPOD.

Mengurai Kekerasan Seksual di Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *