Dalam kehidupan sosial, peran laki-laki sering kali dikaitkan dengan tanggung jawab, kekuatan, dan ketahanan. Namun, pandangan ini seringkali menutupi tantangan nyata yang dihadapi oleh laki-laki, terutama dalam aspek kesehatan mental, pendidikan, dan karir. Seringkali laki-laki dianggap superior sehingga masyarakat terlupakan bahwa laki-laki sebagai sosok manusia yang memiliki dinamika emosi dan perlu support sistem dalam kehidupan mereka. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi isu tantangan dan tekanan yang dihadapi oleh laki-laki dalam perspektif kesehatan mental, pendidikan, dan karir
Kesehatan Mental
Sebanyak 269,58 juta jiwa masyarakat Indonesia pada tahun 2019, laki-laki yang mengalami gangguan jiwa di kategori kecemasan mencapai 2,7% dan di kategori depresi mencapai 2% (Databoks, 2023). Ini artinya, 1 dari 5 laki-laki di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, namun survey yang dilakukan oleh Onepoll menyatakan bahwa sebanyak 63% koresponden laki-laki menyebutkan mereka menutupi keadaan mereka yang pernah atau sedang mendapatkan perawatan untuk kesehatan mental mereka (Databoks, 2023). Stigma laki-laki kuat yang diyakini oleh masyarakat membuat banyak laki-laki enggan untuk mencari bantuan ataupun menutupi kondisi mental mereka, sebagian besar memilih untuk mengalihkan kebutuhan perawatan kesehatan mental ini dengan hal lain seperti penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan narkotika, dan menyakiti diri sendiri.
Pendidikan
Dianggap sebagai tulang punggung keluarga, acap kali laki-laki dituntut untuk menempuh pendidikan yang tinggi demi jaminan karir yang mumpuni. Menurut Data Pembangunan Manusia dengan Pendekatan Gender pada tahun 2017, pada tahun 2016, terdapat perbedaan yang cukup mencolok dalam durasi rata-rata pendidikan perempuan dan laki-laki. Pada tahun tersebut, perempuan rata-rata hanya menempuh pendidikan selama 7,5 tahun, sementara laki-laki memiliki masa sekolah rata-rata sekitar 8,41 tahun (Kemenpppa, 2018). Salah satu faktor yang berkontribusi pada kesenjangan ini adalah tekanan sosial dan budaya yang diterima oleh laki-laki. Laki-laki sering menghadapi ekspektasi untuk memilih karir tertentu yang dianggap lebih “maskulin” atau “prestisius.” Hal ini dapat mempengaruhi pilihan pendidikan mereka dan mengarah pada pembatasan opsi yang tersedia. Selain itu, stereotip gender yang masih beredar dalam lingkungan pendidikan juga berperan dalam membatasi peran laki-laki dalam berbagai bidang studi. Perasaan perlu untuk sesuai dengan norma-norma gender yang ada dapat membatasi kemampuan laki-laki untuk menjelajahi minat dan bakat mereka secara bebas.
Karir
Di lingkungan kerja, empat dari sembilan pria menyatakan bahwa terdapat pemisahan tugas pekerjaan berdasarkan gender, di mana pria sering kali dihubungkan dengan pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik, seperti perbaikan peralatan rumah tangga. Dalam empat dari kesembilan kasus ini, pria bahkan dilarang untuk melakukan pekerjaan yang umumnya dianggap sebagai pekerjaan perempuan (Kusnandar Jauza, 2023).
Laki-laki sering merasakan tekanan yang signifikan untuk mencapai kesuksesan dan dianggap sebagai “pemberi nafkah” utama dalam keluarga, mereka menanggung ekspektasi sosial yang mengharapkan laki-laki untuk mencapai kesuksesan finansial sering kali mengakibatkan tekanan psikologis yang tinggi. Laki-laki merasa perlu untuk terus berusaha mencapai target karir yang tinggi, meningkatkan pendapatan, dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Hal ini dapat mengakibatkan beban kerja yang berlebihan dan kurangnya waktu untuk istirahat serta kehidupan pribadi. Alhasil, hal ini berdampak negatif pada kesejahteraan mental laki-laki. Mereka mungkin mengalami tingkat stres yang tinggi, kecemasan, dan bahkan depresi karena beban ekspektasi tersebut. Selain itu, keseimbangan kerja-hidup yang tidak seimbang juga dapat merusak hubungan keluarga dan sosial.
Tantangan yang dihadapi oleh laki-laki dalam aspek kesehatan mental, pendidikan, dan karir menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap gender. Penting untuk mengakui bahwa laki-laki juga membutuhkan dukungan dan ruang untuk mengekspresikan emosi serta kebutuhan mental mereka. Mengurangi stigma terkait kesehatan mental, menghargai pilihan pendidikan yang beragam, dan mendukung keseimbangan karir-hidup yang sehat merupakan langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan sehat secara mental. Dengan mendobrak stereotip gender dan menumbuhkan pemahaman yang lebih luas tentang tantangan yang dihadapi laki-laki, kita dapat membantu mereka untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di berbagai aspek kehidupan.
Sumber
- Anak, K. P. P. D. P. (n.d.). KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1720/page/view/
- Santika, E. F. (2023, September 18). Perempuan RI Lebih Banyak Alami Gangguan Kesehatan Mental Daripada Laki-laki. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/18/perempuan-ri-lebih-banyak-alami-gangguan-kesehatan-mental-daripada-laki-laki
- Santika, E. F. (2023, February 27). Mengapa Laki-laki Jarang Menunjukkan Kondisi Mentalnya yang Membutuhkan Bantuan? Katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/27/mengapa-laki-laki-jarang-menunjukkan-kondisi-mentalnya-yang-membutuhkan-bantuan
- Kusnandar, Jauzaa. (2023). Stigma Maskulinitas di Tengah Budaya Patriarki Analisis Teori Solidaritas Sosial Emile Durkhem, 3, 26-51.
Kontributor : Elvira Rahmaniar Rahmi
Editor : Joko Suhariyanto, S.E.,M.M., CPOD
One thought on “Tantangan Laki-laki dalam Kesehatan Mental, Pendidikan, dan Karir”
tanpa kita sadari kesehatan mental itu sangat penting karena menyakut generasi penerus bangsa